Pembahasan Pro dan Kontra Pemilu Serentak

guys, kemaren-kemaren ini kan Negara kita baru ngadain Pemilu-Kada serentak, yang dimaksudkan untuk memilih kepala daerah secara serentak di Indonesia, nahhhh…. sebenarnya pembahasan soal pemilu serentak ini udah dibahsa dari dua tahun yang lalu sebelum pemilu presiden dilaksanakan, setelah dibahas dan di kaji oleh MK akhirnya MK memutuskan mengadakan pemilu serentak. tetapi keputusan itu dikeluarkan hanya beberapa bulan sebelum pemilu 2014 dilaksanakan, alhasil pemilu serentak yang dimaksudkan untuk memilih presiden dan wakil presiden secara berbarengan gagal dilaksanakan pada tahun itu. Dan warga Indonesia hanya melakukan pemilu-kada secara serentak untuk memilih kepala daerah.

brikut ini aku ingin sedikit membahas mengenai pemilu serentak. mulai dari pembahasan Kontra serta pembahasan Pro pemilu serentak dengan tujuan ingin membagi pengetahuan kepad kalian para pembaca serta meminta pendapat kalian mengenai pemilu serentak itu.

Pembahasan kontra mengenai pemilu serentak

            Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden masih menjadi pembicaraan hangat di ruang publik. Salah satu forum yang turut mengangkat kontroversi dari Putusan MK tersebut adalah acara diskusi terbuka yang diadakan oleh Djokosoetono Research Centre di Kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Depok.

            Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI, Fitra Arsil menjelaskan penyelenggaraan pemilu dikatakan serentak jika pemilihan presiden putaran pertama atau satu-satunya putaran dalam pemilihan presiden dilaksanakan pada hari yang sama dengan pemilihan anggota legislatif. Pemilu serentak menjadikan sistem presidensial efektif. Pasalnya, dengan pemilu serentak, maka seorang presiden terpilih akan memperoleh dukungan yang besar di lembaga legislatif. Pemilu serentak menguntungkan partai yang memiliki calon presiden.
Menurut Fitra, Indonesia dapat mencontoh pelaksanaan pemilu serentak yang banyak digelar di kawasan Amerika Latin. sekitar 12 dari 18 negara di kawasan Amerika Latin sudah menerapkan pemilu serentak.

Fitra berpendapat, pelaksanaan pemilu serentak berpotensi menjadi masalah jika pilpres berlangsung dua putaran. Menurut Fitra, pilpres dua putaran akan membawa konsekuensi banyaknya pasangan capres-cawapres yang bertarung. Dampak lanjutannya adalah parlemen akan terfragmentasi cukup tinggi karena konfigurasi ini memberikan peluang kepada banyak partai untuk mendudukkan calonnya di parlemen.

Apabila banyak partai di parlemen, maka kemungkinan munculnya partai dominan menjadi kecil dan terjadi fragmentasi yang tinggi (multipartism). Dengan demikian, konsensus dalam proses pengambilan putusan di parlemen akan menjadi sulit. Harapan menghasilkan struktur parlemen yang kongruen dan dukungan legislatif yang kepada presiden dapat terhambat jika pemilihan presiden dua putaran masih berlaku

Dari segi daya tahan koalisi, pemilu serentak yang akan dipadukan dalam pemilihan presiden dua putaran juga akan menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi koalisi. Karakter koalisi di putaran kedua tentu banyak didominasi pilihan-pilihan pragmatis daripada agenda kebijakan dan program memerintah karena koalisi lebih terpengaruh suara.

Merujuk pada Pasal 159 ayat (2) UU Pilpres, pelaksanaan pilpres memang dimungkinkan dua putaran jika tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pilpres dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Pakar Politik Kevin Evans, memuji proses pembentukan partai di Indonesia. Pendiri www.pemilu.asia ini berpendapat partai di Indonesia terbentuk atas dasar ideologi dan gagasan untuk mencapai cita-cita yang ada di Pembukaan UUD 1945. Berbeda dengan negara lain seperti Malaysia yang partainya berdasarkan identitas atau etnis. Koalisi seperti ini bisa merusak gagasan dan ide yang dimiliki oleh partai dalam proses pengabdian kepada Indonesia.

 

Pembahasan Pro mengenai pemilu serentak

Pemilu Serentak Dinilai Lebih Efisien Jika serentak, setiap warga negara dapat membuat peta dibenaknya tentang check and balances versi pemilih.

Pelaksanaan pemilu baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden dan wakil presiden yang selama ini dilakukan terpisah (tidak serentak) dinilai tidak efisien. Selain biayanya yang sangat besar, pelaksanaan pemilu tidak serentak telah menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara sebagai pemilih.

Atas dasar itu, Pakar Komunikasi Politik, Effendi Gazali mempersoalkan sejumlah pasal dalam UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ke MK. Effendi memohon pengujian Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU Pilpres terkait penyelenggaraan pemilu dua kali yakni Pemilu Legislatif dan Pilpres.

Misalnya, Pasal 3 ayat (5) UU Pilpres menyebutkan pemilihan umum presiden dan wakil presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.   Effendi menilai pelaksanaan pemilu lebih dari satu kali telah merugikan warga negara yang mempunyai hak pilih. “Kerugiannya, kemudahan warga negara melaksanakan hak pilihnya secara efisien terancam dan dana pemilu tidak serentak amat boros, seharusnya bisa digunakan untuk pemenuhan hak-hak konstitusional lain.

Dia mengatakan pelaksanaan pemilu secara serentak selain efisien (hemat) dapat mendidik para pemilih menjadi cerdas. Cerdas yang dimaksud Gazali, dengan menerapkan sistem presidential coattail dan political efficacy (kecerdasan berpolitik).

Presidential Coattail, setelah memilih calon presiden, pemilih cenderung memilih partai politik atau koalisi partai politik yang mencalonkan presiden yang dipilihnya. Kalau presidential coattail, pemilih memilih presiden sama dengan pilihannya untuk anggota DPR dan DPRD dalam satu partai.

Tetapi, kalau political efficasy, dia bisa bisa memilih anggota legislatif dan memilih presiden yang diusung partai lain. Ini bisa dilakukan kalau pemilu legislatif dan presiden dilakukan serentak.

 

Menurutnya, jika pemilu dilakukan secara serentak, setiap warga negara dapat membuat peta dibenaknya tentang check and balances versi pemilih. Kalau pemilu tidak serentak seperti sekarang, ada campur tangan parpol untuk menerapkan sistem threshold (ambang batas 20 persen dan 25 persen). Pemilu serentak juga untuk menghemat anggaran, seperti biaya politik, biaya kampanye. Hitungan-hitungan banyak pihak itu bisa hemat sampai Rp120 triliun.

Selain itu, original intent Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945, dapat ditemukan pemikiran awal anggota MPR saat menyusun amandemen UUD 1945 pada tahun 2001. Dengan jelas, Pemilu diselenggarakan lima tahun sekali (serentak) untuk memilih sekaligus anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam risalah sidang-sidang Panitia Ad Hoc I BP MPR hingga sidang paripurna, selalu muncul kata-kata ‘pemilu bareng-bareng’ (serentak) atau ‘pemilu lima kotak.

Untuk itu, dirinya meminta MK membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU Pilpres. Sebab, pasal-pasal itu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1), (2) UUD 1945.

Ketua Majelis Panel, Moh Mahfud MD mengatakan permohonan ini akan dibahas dalam rapat permusyawaratan hakim. Nantinya, akan diputuskan apakah permohonan ini akan dilanjutkan ke sidang pleno atau langsung bisa diambil keputusan.

Tabel 1: Sistem Pemilu dan Dukungan Legislatif: Dua Dimensi Utama

Formula Pemilihan Presiden Waktu Pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden
Serentak (Concurrent) Terpisah (Non-Concurrent)
Plurality Tingkat Mutipartai rendah. keterkaitan yang tinggi antara pilpres dan pileg Tinggi multipartai. tidak ada kaitan pilpres dan pileg
Major Runoff (MRO) Tingkat multipartai moderat hingga tinggi. keterkaitan yang tinggi antara pilpres dan pileg Sangat tinggi multipartai. taka da kaitan pilres dan pileg

Sumber: Jones (1995)

Atas dasar temuan seperti ini, Jones dan banyak peneliti lain, terutama di Amerika Latin menyarankan agar sistem pemilu legislatif dan eksekutif dalam sistem presidensial multipartai haruslah mengkombinasikan waktu pelaksanaan yang serentak, sistem PR dalam pemilu legislatif, dan sistem plurality dalam menentukan pemenang pemilu presidennya.

Sistem plurality sendiri sebetulnya cenderung menghasilkan sedikit kandidat presiden (Duverger, 1954). Ketika pemilu presiden para pendukung kandidat dalam sistem ini cenderung mengabaikan para kandidat yang tidak kompetitif (non-viable) supaya mereka dapat fokus pada dua kandidat teratas. Hal ini mendorong proses koalisi antar partai sejak awal karena hanya ada satu putaran pemilihan. Partai yang mestinya mengajukan calon sendiri namun calonnya kurang kompetitif cenderung akan mendrop calonnya dan mengendorse satu di antara dua calon paling kompetitif dengan harapan akan mendapatkan konsesi politik pasca pemilu presiden.

Namun, bila dilaksanakan terpisah dengan pemilu legislatif, maka partai-partai dalam pemilu legislatif belum perlu memikirkan pengaruh pemilu presiden tersebut. Dampak “reduktif” dari sistem plurality menjadi tidak berpengaruh terhadap penyederhanaan partai di legislatif, dengan asumsi pemilu legislatif dilaksanakan dengan sistem proporsional.

Mekanisme plurality ini berpengaruh terhadap partai-partai ketika dilaksanakan serentak dengan pemilu legislatif. Partai-partai cenderung akan mencalonkan salah satu dari dua kandidat paling kompetitif, dan berujung pada mengumpulnya dukungan partai-partai legislatif pada dua kandidat tersebut. Ketika salah satu dari kandidat itu memenangkan pemilu presiden, maka dukungan terhadap presiden tersebut di legislatif cenderung akan mayoritas atau mendekati mayoritas. Dengan demikian gabungan sistem pemilu presiden plurality yang dilaksanakan serentak dengan pemilu legislatif adalah yang paling mungkin membantu penguatan sistem presidensial multipartai.

Sistem pemilu presiden dengan majority runoff, di sisi lain, cenderung memiliki dampak “inflationary” terhadap jumlah partai, sekalipun dilaksanakan serentak dengan pemilu legislatif. Partai dan kandidat yang berkompetisi dalam sistem ini lebih terfokus pada bagaimana maju ke putaran kedua. Selama tidak ada kandidat yang sangat dominan maka seorang kandidat yang memperoleh minimal sepertiga dari suara punya kemungkinan untuk maju ke putaran kedua. Maka minimal akan ada tiga kandidat dalam sistem semacam ini (Cox, 1997; Shugart and Carey, 1992; Reed, 2001). Dalam sistem multipartai maka partai-partai 6 politik peserta pemilu legislatif, bila dilaksanakan serentak dengan pemilu presiden, cenderung akan mengajukan calon presiden mereka masing-masing. Itulah sebabnya sistem ini dianggap cenderung tidak dapat membantu penguatan sistem presidensial multipartai, karena dampaknya cenderung akan menjadikan sistem kepartaian legislatif makin terfragmentasi (Mainwaring, 1990).

Kesimpulan umum yang didukung oleh banyak peneliti ini mendapatkan kritikan dan modifikasi dari para peneliti selanjutnya. Kritik dan modifikasi tersebut dalam skala tertentu sebetulnya saling melengkapi. Salah satu aspek yang harus diperhatikan menurut para peneliti lainnya adalah jumlah kandidat presiden yang bertarung. Pelaksanaan pemilu serentak tak akan mengurangi tingginya tingkat multipartai bila kandidat presiden yang bertarung jumlahnya banyak. Dengan mengutip Golder (2006), Hicken and Stoll (2008: 1109-1110) misalnya menyatakan bahwa “… proximate elections only have a reductive effect on the legislative party system when there are few viable presidential candidates; with a large number of candidates, they conversely have an inflationary effect.” Mendekatkan waktu atau membuat serentak waktu pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden dalam sistem presidensial multipartai memiliki dampak penyederhanaan terhadap sistem kepartaian bila jumlah kandidat presidennya yang kompetitif (viable) hanya beberapa saja. Bila banyak kandidat presiden yang bertarung, maka dampak pemilu serentak justru membuat sistem kepartaian makin terfragmentasi. Pernyataan ini didukung juga oleh hasil-hasil penelitian empirik dari banyak peneliti lainnya seperti Amorim Neto and Cox (1997).


Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53024d7539efa/akademisi-ungkap-kelemahan-pemilu-serentak

Klik untuk mengakses Makalah-Djayadi-Hanan.pdf

 

Tinggalkan komentar